Tagged: politik penjajah Toggle Comment Threads | Pintasan Keyboard

  • Papua Post 12:42 am on July 25, 2013 Permalink | Balas
    Tags: , , politik penjajah   

    Tak Ada Urusan Kelompok Bintang Kejora/Merah Putih 

    Yakobus: Evaluasi Otsus Jangan Kaitkan Ideologi Tertentu

    JAYAPURA- Rapat Dengar Pendapat Evaluasi Otsus Perspektif Orang Asli Papua bagi Provinsi Papua dan Papua Barat, yang difasilitasi MRP, dipastikan dilaksanakan tanggal 25-27 Juli dan akan dihadiri utusan dari 40 Kabupaten di dua provinsi di Tanah Papua.

    Ketua Tim Rapat Dengar Pendapat, Yakobus Dumupa menyatakan, sebagian peserta sudah berdatangan dan dipastikan seluruh perwakilan sesuai undangan menyatakan diri hadir, termasuk 14 narasumber yang akan hadir dan menyampaikan penilaian mereka terhadap implementasi Otsus Papua dalam 14 bidang.
    Yakobus Dumupa menegaskan, dalam Rapat Dengar Pendapat yang diselenggarakan MRP ini tak terkait ideologi tertentu. Evaluasi Otsus ini juga tidak ada urusannya dengan kelompok ideologi tertentu, seperti kelompok Bintang Kejora (BK) atau merah putih.

    Menurut dia, kita harus melihat evaluasi Otsus perspektif Orang Asli Papua ini dalam konteks kita sebagai orang Papua, bukan kita sebagai orang yang punya ideologi tertentu, tidak demikian. Karena itu, selaku Ketua Tim Rapat Dengar Pendapat MRP ini menghimbau kepada semua masyarakat Papua untuk dapat melihat evaluasi yang akan dilaksanakan ini sebagai evaluasi dari kita sebagai orang Papua tanpa peduli ideologi apapun.” Jangan evaluasi ini dikaitkan dengan Ideologi tertentu”, tegasnya.

    Sangat Disayangkan Selama 12 Tahun Otsus Baru Dievaluasi
    Sementara itu Pengamat Hukum Internasional, Sosial Politik Universitas Cenderawasih Jayapura, Marinus Yaung, mengatakan, rencana evaluasi Otsus Papua oleh MRP pada 25-27 Juli 2013 sesuai ketentuan UU Otsus, namun hal itu sangat disayangkan, karena setelah 12 tahun baru dilaksanakan ketentuan pasal 78 UU Otsus Papua dimaksud.

    Diakuinya, memang MRP terlambat lahir di Tanah Papua, karena ada ketakutan Jakarta kepada MRP sebagai lembaga super body yang merupakan perwujudkan kelembagaan dari gerakan kebangkitan nasionalisme Papua. MRP dipandang juga sebagai simbol perlawanan terhadap kedaulatan Indonesia di Papua karena dengan membentuk MRP sama saja dengan membentuk Negara dalam Negara.
    Kecurigaan Jakarta yang cukup besar terhadap lembaga kultural ini, yang membuat MRP kehilangan power sama sekali dalam trias politikal kekuasaan model sistem politik lokal Papua. Tapi lepas dari hal kegiatan evaluasi UU Otsus tahun 2013 ini jangan sampai dimaksudkan untuk memberikan dasar konstitusional kepada lahirnya UU Otsus Plus atau Undang-Undang Pemerintahan Papua.

    Menurutnya, jika tujuannya Otsus Plus/Pemerintahan Papua untuk memberikan dasar hukum yang kuat terhadap UU Otsus Plus , dirinya berpikir bahwa MRP sudah terseret kedalam kepentingan politik dan ekonomi pemerintahan pusat.

    “Evaluasi Otsus kalau boleh tidak dimaksudkan untuk memberikan penguatan terhadap proses legislasi UU Otsus plus, tetapi lebih kepada pertanggungjawaban UU Otsus Papua kepada rakyat Papua, dan harus meminta pendapat umum rakyat Papua terhadap kelangsungan UU Otsus Papua ini,” ungkapnya kepada Bintang Papua di kediamannya, Selasa, (23/7).

    Dijelaskannya, secara hukum internasional, tidak ada salahnya kalau diakhir dari evaluasi UU Otsus ini, MRP mengusulkan kepada DPRP untuk menggelar referendum terhadap UU Otsus. Karena DPRP memiliki hak konstitusi untuk melaksanakan referendum terhadap UU Otsus.

    Dari hasil referendum itulah DPRP akan menyampaikan hasilnya kepada pemerintah pusat melalui DPR RI. Pasalnya, jika dilihat hasil referendum akan memberikan gambaran kepada pemerintah pusat apa sesungguhnya yang orang Papua inginkan atau harapkan tentang UU Otsus Papua dimaksud. Bahwa apakah akan terus dilaksanakan atau harus diganti dengan UU Otsus Plus atau UU Pemerintahan Papua atau pendapat masyarakat Papua tentang pilihan politik yang lain.

    Untuk itu, dirinya mendorong dan menghimbau kepada MRP untuk mempertimbangkan akhir dari evaluasi Otsus ini, karena lembaga kultural ini harus melakukan dua langkah penting. Pertama, mengusulkan digelarnya referendum di Tanah Papua terhadap UU Otsus Papua. Kedua, merekomendasikan hasil evaluasi Otsus ini menjadi agenda utama dalam dialog damai Papua dengan Jakarta yang sedang dipersiapkan oleh Jaringan Damai Papua dalam menghentikan dan menyelesaikan konflik dan kekerasan di Papua.

    “Dialog damai ini belum disetujui Jakarta karena kecurigaan terhadap agenda dialog. Saya pikir melalui hasl evaluasi Otsus ini bisa dijadikan salah satu agenda utama dalam dialog damai,” pungkasnya.(Ven/Nls/Don/l03)

     
  • Papua Post 3:58 am on July 3, 2010 Permalink | Balas
    Tags: , politik penjajah   

    Selamatkan Papua ! (3) 

    Meski tidak menjadi berita besar, isu referendum (jajak pendapat umum) di Papua akhir-akhir ini sebetulnya sangat penting untuk diwaspadai. Setelah konflik Aceh pasca MoU Helsinky, kini gejolak menyeruak kembali di Papua. Saat ini gejolak lebih besar dipicu oleh aksi-aksi politis yang dilakukan masyarakat sipil. Demontrasi besar, misalnya, terjadi pada tanggal 18 Juni, dilanjutkan aksi ribuan warga Papua pada tanggal 8 Juli 2010. Aksi pada awal bulan Juli ini dikoordinasikan oleh Forum Demokrasi Rakyat Papua Bersatu (FDRPB). Forum ini menghimpun elemen-elemen sipil terdiri dari; DAP, PDP, WPNA, Solidaritas Perempuan Papua, PGGP, Sinode GKI, GIDI, Kemah Injil, Baptis Papua, Pantekosta, KNPB, AMPPTPI, AMWP, Front Papera, Garda-P, Forum Independen Mahasiswa,Bem/Senat Mahasiswa Se-Jayapura, dan OKP-OKP se-kota/Kab. Jayapura-Sarmi-Kerom. Dengan semboyan “Satu Tanah, Satu Hati, Satu Bangsa dan Satu Tujuan”, mereka bergerak mendesak DPR Papua melaksanakan sidang paripurna guna menindaklanjuti aksi demo tanggal 18 Juni 2010 dalam rangka menyerahkan hasil musyawarah masyarakat Papua. Tuntutannya adalah mengembalikan Otsus (otonomi khusus) sekaligus menuntut referendum.

    Tentu, ini merupakan tantangan besar bagi Pemerintah Indonesia. Pasalnya, jika Pemerintah tak cermat, Papua akan mengalami kontraksi politik yang bisa berujung pada disintegrasi (pemisahan diri), sebagaimana halnya Timor-Timur yang telah lepas dari pangkuan negeri ini.

    Latar Belakang Tuntutan Referendum

    Luas seluruh Papua adalah 309.934,4 km², sama dengan 3,5 kali Pulau Jawa. Wilayah ini subur dengan kandungan mineral dan potensi SDA (sumber daya alam) yang melimpah; dari mulai hutan, tambang emas, tembaga hingga uranium. Dari sisi geopolitik pun, Papua sangat strategis.

    Namun, dengan potensi SDA Papua yang demikian besar, Indek Pembangunan Manusia (IPM) Papua termasuk yang paling rendah dibandingkan dengan seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Tingkat kemiskinan masyarakatnya juga sangat merisaukan. Padahal Papua telah terbukti memberikan banyak keuntungan dengan kandungan kekayaan alamnya yang melimpah kepada perusahaan lokal, nasional maupun multinasional (asing). Namun, Papua seolah hanya menjadi pundi-pundi kekayaan dan sapi perah kepentingan perusahaan-perusahaan tersebut dan pihak asing, termasuk para elit penguasanya.

    Pemerintah Indonesia melalui Otonomi Khusus Papua yang dituangkan dalam UU No 21 Tahun 2001 berusaha mengubah keadaan di atas. Sayang, Otsus seolah menjadi bumerang. Pasalnya, setelah berjalan 9 tahun, Otsus dirasakan tidak berpengaruh apa-apa, kecuali kepada segelintir elit politiknya. Dana Otsus yang mencapai rata-rata 10juta/warga Papua juga tidak memberikan perubahan berarti. Kondisi inilah yang mendorong sebagian masyarakat Papua (lebih tepatnya; elit politiknya) menyuarakan tuntutan referendum (yang arahnya adalah merdeka atau minimal berformat federalisme). Referendum dianggap sebagai pilihan akhir untuk mengubah keadaan itu semua.

    Ada beberapa analisis mengapa wacana referendum mencuat. Pertama: karena Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua tidak dilaksanakan secara konsisten dan serius oleh pemerintah pusat dan daerah. Ketidakseriusan ini terlihat pada adanya kebijakan-kebijakan yang kontra dengan UU Otsus Papua tersebut. Hal ini menjadi kendala sekaligus memunculkan berbagai masalah penerapannya di lapangan. Jadinya UU Otsus seperti tidak bergigi. Misal, di lapangan ditemukan Pemerintah Provinsi Papua mengaku hingga saat ini hanya ada sekitar 20 persen dari 380-an pemerintahan distrik atau kecamatan yang melaksanakan aktivitasnya dengan baik. Kondisi tersebut disebabkan masih minimnya sarana dan prasarana bagi pemerintahan distrik itu. Pemerintahan distrik sangat sedikit sekali melakukan pelayanan kepada masyarakat. Jika distrik sebagai ujung tombak pemerintah terdepan tidak memiliki kapasitas untuk membangun maka perubahan nasib warga Papua seperti menggantang asap, alias tidak akan berubah.

    Kedua: UU Otsus Papua mengandung blunder politik terkait dengan peran lembaga-lembaga adat dalam melahirkan kebijakan-kebijakan politik di Papua. Pemerintah dianggap tidak memperhatikan pandangan/pendapat dari MRP (Majelis Rakyat Papua) yang dipandang mewakili lembaga-lembaga adat Papua. Inilah yang menjadi salah satu pemicu ketidakpuasan masyarakat Papua.

    Ketiga: Pemerintah dianggap tidak serius dalam mewujudkan Pasal 34 UU No 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua ini. Terkait ayat 3 (yakni: Dana Perimbangan bagian Provinsi Papua, Kabupaten/Kota dalam rangka Otonomi Khusus), tidak ada realisasi atas pembagian hasil Sumber Daya Alam (SDA) Papua antara Papua dan Jakarta sebagaimana yang diamanatkan Pasal 34 UU Otsus Papua.

    Keempat: Pelanggaran HAM yang dilakukan sejak 1963 hingga kini belum ditangani. Padahal UU Otsus Papua menghendaki hal itu. Para korban pelanggaran HAM dibiarkan. Orang Papua belum merasakan keadilan. Oleh sebab itu, bagi orang Papua, Pemerintah gagal melaksanakan UU Otsus Papua. Sekalipun triliunan rupiah sudah dikucurkan, mayoritas orang Papua masih hidup di bawah garis kemiskinan. Karena tidak merasakan manfaatnya maka rakyat Papua mengembalikan UU Otsus secara simbolik kepada pemiliknya, yakni Pemerintah melalui DPR Papua, dan menuntut referendum.

    Peran Negara Asing (Penjajah)

    Untuk menghilangkan tuntutan referendum dari Tanah Papua, faktor pemicu tuntutan ini perlu dipecahkan. Lepasnya Timor-Timor menjadi pengalaman sangat pahit. Sementara itu, Papua jauh lebih besar potensi SDA-nya dibandingkan Timor-Timur. Jika penguasa saat ini tidak mengubah kebijakan dan orentasi pembangunannya, niscaya Pemerintah akan menelan buah simalakama demokrasinya. Dalam ruang demokrasi tidak ada lagi sumbatan bagi setiap warga, khususnya warga Papua, untuk menyerukan keinginannya, bahkan di forum-forum internasional, termasuk PBB. Apalagi Papua adalah ladang subur tempat melampiaskan ketamakan para kapitalis asing melalui instrumen negaranya untuk melakukan penjajahan sekaligus mengeruk habis kekayaan Papua.

    Indonesia harus mencermati ‘dalang’ di balik tuntutan referendum ini. Sebab, masyarakat kecil kebanyakan sebetulnya tidak begitu paham dengan referendum tersebut. Sekelompok elit politiklah yang sebenarnya bermain dengan membangun jejaring baik di pusat kekuasaan maupun jejaring internasional (pihak gereja dan LSM-LSM asing). Namun, sesungguhnya mereka hanyalah ‘alat’. Kepentingan negara-negara besarlah, khususnya Amerika dan Australia, yang memainkan peran penting di Papua. Sesungguhnya negera-negera penjajah inilah yang memiliki kepentingan dan bakal meraih keuntungan jika Papua merdeka atau memisahkan diri melalui referendum yang sedang diusahakan oleh mereka. Jika ini tidak dicermati Pemerintah, boleh jadi nasib Papua nanti akan seperti Timor Timur; lepas begitu saja dari pangkuan Indonesia.

    Banyak ‘bukti’ yang menunjukkannya adanya dukungan Australia dalam membantu para pemberontak di Papua, baik secara langsung atau melalui New Guinea, yang juga menyediakan tempat yang aman kepada para pemberontak separatis di samping dukungan finansial dan militer. Kebijakan yang sama telah dilakukan Australia terhadap provinsi-provinsi di Indonesia selama puluhan tahun, seperti dalam kasus Aceh dan Timor Timur. Amerika juga mulai mengungkapkan keprihatinan besarnya atas konflik di Papua ketika tahun 2005 Kongres AS memutuskan untuk menerapkan klausul: berdasarkan apa Papua telah menjadi bagian dari Indonesia. Pada bulan Juni 2007, Utusan Khusus HAM Sekjen PBB, Hina Jilani, mengunjungi propinsi Aceh dan Papua. Ia membahas ‘pelanggaran HAM’ di dua provinsi itu. Pada bulan Juli 2007 ketua Subkomite Parlemen (Kongres AS) di Asia, Pasifik dan Global, Eni Faleomavaega, mengatakan, “Jika Pemerintah Indonesia tidak mampu menangani dengan baik isu Papua, kami akan memberinya kemerdekaan.”

    Semua itu tentu saja menunjukkan betapa Amerika dan Australia begitu bersemangat untuk ‘melepaskan’ Papua dari Indonesia dengan memanfaatkan konflik-konflik yang terjadi di provinsi ini.

    Solusi Islam

    Indonesia adalah negeri Islam. Papua adalah bagian dari negeri Islam ini. Karena itu, wajib bagi kaum Muslim untuk mencegah para penguasa negeri ini melepaskan Papua, sebagaimana mereka dulu ‘melepaskan’ begitu saja Timor Timur.

    Untuk mengurangi pengaruh dan provokasi Gereja (kaum Kristen) di sana, wajib pula bagi umat Islam untuk menyebarkan seruan Islam di kalangan orang Kristen di sana. Caranya adalah dengan mengundang mereka untuk melakukan perdebatan dengan cara terbaik. Mereka juga harus diingatkan bahwa hak-hak orang Kristen dilindungi di negeri-negeri Muslim.

    Selain itu, penguasa harus menyadari bahwa politik sekular tidak memiliki kapasitas untuk membangun seluruh wilayah Indonesia, termasuk Papua, menjadi makmur, sejahtera dan berkeadilan. Sudah saatnya penguasa negeri ini menerapkan sistem Islam. Penguasa wajib menerapkan hukum syariah yang berasal dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya atas semua wilayah di negeri ini tanpa diskriminasi, antara satu provinsi dan lainnya. Dalam sistem Islam (Khilafah), semua orang yang memiliki kewarganegaraan negara akan memiliki hak yang sama, terlepas dari keturunan mereka atau agama mereka. Di sisi lain, penguasa wajib mencegah aksi separatis dan menanganinya secara adil di antara masyarakat.

    Dalam Islam tidak diizinkan untuk memberikan otonomi untuk setiap provinsi yang bisa memicu kemunculan gerakan separatis. Ini dilarang (haram) dan merupakan kejahatan berat dalam Islam. Karena itu, salah besar memberikan otonomi kepada Papua. Karena itu pula, otonomi wajib dibatalkan dan Papua harus dibawa kembali di bawah pemerintahan pusat.

    Umat Islam wajib untuk mencegah penguasa melepaskan wilayah Papua. Karena itu, kaum Muslim wajib mengerahkan tekanan dan bekerja untuk mengubah sistem sekular yang ada karena sistem inilah yang memungkinkan terjadinya pemecahbelahan negeri Muslim terbesar ini. Umat ini selanjutnya harus berupaya mendirikan negara Khilafah. Khilafahlah yang pasti bakal mampu mencegah aksi separatis dan menanganinya secara adil di antara masyarakat. Khilafah juga akan menerapkan hukum syariah Islam atas semua orang di negeri ini tanpa diskriminasi antara satu provinsi dan lainnya, juga tanpa melihat keturunan atau agama mereka.

    Karena itu, marilah setiap diri kita berlomba mewujudkan cita-cita besar ini. Allah SWT berfirman:

    مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً

    Siapa saja yang mengerjakan amal salih, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan Mukmin, sesungguhnya akan Kami beri kehidupan yang baik (QS an-Nahl [16]: 97).

     
  • Papua Post 10:26 am on June 8, 2010 Permalink | Balas
    Tags: , politik penjajah   

    Tokoh Masyarakat Desak Pembentukan Papua Selatan 

    papua_selatan JAKARTA [PAPOS]-Sejumlah tokoh masyarakat dan perwakilan pemerintahan dari empat kabupaten di Papua mendesak Komisi II DPR RI mempercepat proses pembentukkan Provinsi Papua Selatan.

    Desakan ini terungkap saat para tokoh adat masyarakat dari empat kabupaten yakni Asmat, Boven Digul, Merauke, serta Mappi, audiensi dengan Komisi II (bidang pemerintahan) di Gedung DPR, Jakarta, Senin [7/6]. Para tokoh adat ini menegaskan bahwa mereka sudah lelah dengan penantian panjang selama tujuh tahun untuk pemekaran provinsi baru tersebut.

    "Kami datang ke Jakarta ini untuk meminta kepastian kapan aspirasi pembentukkan provinsi Papua Selatan ini bisa diwujudkan. Sebelum kami pulang harus ada jawaban untuk disampaikan ke masyarakat di sana," ujar Nico Deti, tokoh masyarakat Asmat.

    Dia mengatakan, selama ini orang tua mereka telah berjuang mempertahankan keutuhan NKRI dan sebagai imbalannya mereka meminta agar dibentuk provinsi baru Papua Selatan sebagai pemekaran dari Papua.

    Hal senada disampaikan tokoh pemuda setempat, Yohanes, yang mengatakan, wilayah Papua selatan memiliki kekayaan alam yang melimpah dan belum termanfaatkan secara maksimal. Diharapkan dengan adanya pemerintahan baru hasil pemekaran wilayah, penggalian potensi daerah itu bisa dilakukan secara optimal untuk kepentingan menyejahterakan masyarakat di sana.

    Menurut dia, saat ini masih banyak rakyat Papua yang hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan pendidikan. Sementara berbagai pembangunan yang dilakukan di wilayah Papua bagian utara tidak pernah dirasakan hasil-hasilnya untuk masyarakat di wilayah Papua bagian selatan.

    Selain itu, wilayah papua yang sangat luas juga telah menyulitkan rakyat setempat untuk mengurus berbagai kebutuhan administratifnya sehingga diperlukan adanya pemekaran wilayah, di antaranya dengan membentuk Provinsi Papua Selatan yang bersamaan dengan pemekaran Kotamadya Merauke dan Kabupaten Mojo.

    Menanggapi desakan itu, Ketua Komisi II Chaeruman Harahap menegaskan bahwa prvpinsi Papua Selatan sudah masuk dalam pembahasan sejumlah pemekaran wilayah baru.

    Bahkan, kata politisi Partai Golkar itu, Komisi II juga sudah mengirimkan surat hasil evaluasinya kepada Gubernur Papua sebagai provinsi induk, DPRD setempat, dan Majelis Rakyat Papua.

    "Yang kami tunggu saat ini adalah bagaimana rekomendasi mereka. Kita berharap semua persyaratan yang dibutuhkan, termasuk berbagai surat rekomendasi itu segera masuk DPR untuk dibicarakan lebih lanjut," ujarnya.

    Dia mengatakan, DPR mempunyai keinginan yang sama dengan masyarakat Papua selatan agar provinsi baru itu segera terwujud karena bagaimana pun aspirasi rakyat tidak bisa dihambat. Tetapi, ia menambahkan, tetap ada proses yang harus diikuti sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Hal senada disampaikan Wakil Ketua Komisi II Taufiq Effendi yang mengatakan, persoalan sebenarnya ada di daerah dan bukan di tingkat pusat. "DPR tidak pernah mengulur-ulur keputusannya. Masalah ini terletak di daerah sendiri. Jawaban tertulis mengenai apa-apa saja persyaratan yang harus dipenuhi sudah kita sampaikan. Tetapi sampai sekarang belum ada tanggapan balik ke DPR," ujar mantan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara itu.[bel/ant]

    Ditulis oleh Bel/Ant/Papos  
    Selasa, 08 Juni 2010 00:00

     
  • Papua Post 5:51 am on May 8, 2010 Permalink | Balas
    Tags: , , , politik penjajah   

    Pemerintah Tolak SK MRP 

    Jakarta [PAPOS] – Menteri Dalam Negeri [Mendagri] telah mengirimkan surat kepada Majelis Rakyat Papua [MRP] agar membatalkan Keputusan Nomor 14 Tahun 2009 yang menyebutkan kepala daerah di Papua harus orang asli Papua.

    Seusai Rapat Dengar Pendapat [RDP] dengan komisi II DPR RI di Jakarta, Rabu [5/5] Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan, pihaknya telah melakukan pembahasan terhadap apa yang terjadi di Papua dan telah mengirimkan surat kepada MRP untuk membatalkan keputusannya Nomor 14 tahun 2009.

    Keputusan MRP yang mengisyaratkan kepala daerah di Papua harus orang asli Papua, menurut Mendagri, sangat bertentangan dengan prinsip hidup bernegara karena sangat diskriminatif.

    " Kita telah membicarkan permasalah Papua bersama-sama. Kemarin kita juga telah mengirimkan surat kepada MRP jika keputusannya itu sangat diskriminatif dan bertentangan dengan prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara," kata Gamawan kepada SH yang di release Papua Pos.

    Sementara itu, Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Ditjen Otda), Kemendagri, Sodjuangon Situmorang mengatakan dalam surat yang dikirimkan pihak Kemendagri kepada MRP, Kemendagri minta agar semua pihak untuk kembali kepada Undang-Undang yang berlaku, karena menurutnya UU No. 21 Tahun 2001 menyebutkan, MRP hanya bisa memberikan pertimbangan terhadap pemiliham bupati dan walikota.

    Sementara DPRP sendiri telah membentuk Pansus Pilkada terkait dengan terbitnya SK MRP Nomor 14 tahun 2009 tersebut. bahkan sebagaimana hasil pertemuan DPRP, KPU dan MRP pada waktu lalu, DPRP yang memberikan opsi pelaksanaan Pemilukada Papua akan ditunda menunggu adanya turun peraturan pemerintah atas keputusan MRP tersebut.

    Tergantung MA

    Sementara itu anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), I Gusti Putu Artha, mengatakan, seperti kesepakatan yang telah dibuat oleh KPU, Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhu kam), serta pihak Papua, saat ini telah dibentuk tim kecil yang akan meminta pendapat hukum dari MA mengenai surat keputusan yang dikeluarkan Majelis Rakyat Papua (MRP) Nomor 14 Tahun 2009, yang mensyaratkan kepala daerah di tanah Papua harus orang Papua asli.

    ?“Untuk pilkada di Papua yang telah kami serahkan, KPUD-nya merevisi jadwal penyelenggaraan pilkada, akan menunggu pendapat hukum dari MA mengenai surat Keputusan MRP. Jadi apa pun nanti pendapat hukum yang diberikan oleh MA, itu yang akan kita sebarkan dan kita jalankan,” kata Putu.?

    Menurut Putu, pendapat hukum yang dikeluarkan oleh MA sangat penting karena akan menjadi sinkronisasi yu ridis antara dua produk hukum yang berbeda tafsir, yaitu SK MRP Nomor 14 Tahun 2009 dan Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua. Dengan demikian, diharapkan gejolak politik yang saat ini muncul di Papua dapat diredam dan pilkada bisa berjalan dengan lancar.?

    Selain itu, Putu juga mengungkapkan, telah menonaktifkan 19 anggota KPUD beberapa daerah di Papua melalui pembentukan Dewan Kehormatan (DK) karena dianggap telah melanggar kode etik dalam menjalankan tugasnya.

    “Setelah kelompok kerja (pokja) pilkada terbentuk, kami langsung melakukan eva luasi terhadap seluruh anggota KPUD dan hasilnya, kami telah menonaktifkan 19 anggota KPUD karena kesalahannya dalam menyelenggarakan pe milu yang lalu dan dianggap tidak pantas untuk menye rahkan penyelenggaraan pilkada di Papua kepada mereka,” ungkap Putu. [sh/agi]

     

    Ditulis oleh Sh/Agi/Papos      
    Sabtu, 08 Mei 2010 00:00

     
  • Papua Post 10:12 am on May 7, 2010 Permalink | Balas
    Tags: , , , politik penjajah, resolusi konflik   

    Lembaga Keagamaan Jembatani Proses Dialog Papua-Jakarta 

    Jayapura [PAPOS] – Lembaga-lembaga keagamaan merupakan salah satu saluran yang bisa menjembatani proses dialog masyarakat Papua dengan Jakarta, dalam rangka menghapuskan tuduhan makar atas oknum atau kelompok masyarakat tertentu yang melakukan aksi sosial.

    Hal tersebut disampaikan pengamat politik Papua sekaligus penulis buku "Makar-Perspektif Papua", Frits Bernard Ramandey SSos MH di Jayapura, Kamis, menanggapi desakan banyak kalangan masyarakat di Papua agar segera digelar dialog nasional Papua dengan pemerintah pusat untuk menuntaskan berbagai permasalahan krusial di wilayah Papua.

    "Pendekatan spiritualitas agama mengajarkan bahwa kedudukan kedudukan manusia adalah sederajat," katanya.

    Menurut Frits, gereja Katolik dan Protestan di Papua selama ini telah menjalankan misi dengan baik dalam menjembatani proses awal komunikasi masyarakat Papua dengan pemerintah Indonesia.

    Dia mengatakan, para tokoh agama di Papua mengambil peran penting dalam memediasi dialog sebagai jalan keluar dalam menyelesaikan persoalan status politik Papua secara bermartabat berdasarkan nilai-nilai ajaran ke-Tuhanan yang bebas kepentingan pragmatisme.

    Dalam catatan Frits, beberapa orang Papua yang menyampaikan pikiran dan ekspresinya d iantaranya Arnol Aap dengan kelompok seniman/budaya asli Papua, juga kelompok sipil yang memilih bergerilya seperti Feri Awom, yang kemudian kepadanya dikenakan pasal subversi.

    Selain itu, makar pernah didakwakan kepada Dr Tom Wanggai yang bersama kelompoknya mendeklarasikan Negara Melanesia Barat pada 14 Desember 1988 di lapangan sepak bola Mandala,Jayapura.

    Selanjutnya Theys H.Eluay juga dijerat dengan pasal-pasal makar. Ia mencetuskan Deklarasi 12 November 1999 dan pengibaran bendera Bintang Kejora 1 Desember 1999.

    Ia juga terlibat dalam Mubes Papua pada 23-26 Februari 2000, Komunike Politik Papua dan kegiatan Kongres Papua II pada 29 Mei – 4 Juni 2000.

    Bagi rakyat Papua, rangkaian kegiatan yang diikuti Theys H.Eluay dan ribuan orang Papua itu merupakan ekspresi kebebasan atas nama masyarakat Papua yang menyuarakan status kedaulatan politik Papua Barat berdasarkan peristiwa 1 Desember 1961 sementara itu para penegak hukum memiliki pandangan bahwa tindakan dan kegiatan tersebut adalah perbuatan makar .

    Frits berpendapat, apabila proses tradisi dan politik masyarakat Papua tidak dipahami secara hati-hati dari perspektif sosial, ekonomi, politik dan budaya dengan nafas pluralisme, maka penegakan hukum atas nama keadilan tidak akan ditemukan dalam kasus-kasus tindak makar di Papua. [ant/agi]

     

    Ditulis oleh Ant/Agi/Papos  
    Jumat, 07 Mei 2010 00:00

     
c
Compose new post
j
Next post/Next comment
k
Previous post/Previous comment
r
Balas
e
Edit
o
Show/Hide comments
t
Pergi ke atas
l
Go to login
h
Show/Hide help
shift + esc
Batal